Senin, 07 Mei 2012
Islamic Banking
Islamic Banking
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Kebijakan Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia
Untuk memberikan pedoman bagi stakeholders perbankan syariah dan meletakkan posisi serta cara pandang Bank Indonesia dalam mengembangkan perbankan syariah di Indonesia, selanjutnya Bank Indonesia pada tahun 2002 telah menerbitkan “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek telah dipertimbangkan secara komprehensif, antara lain kondisi aktual industri perbankan syariah nasional beserta perangkat-perangkat terkait, trend perkembangan industri perbankan syariah di dunia internasional dan perkembangan sistem keuangan syariah nasional yang mulai mewujud, serta tak terlepas dari kerangka sistem keuangan yang bersifat lebih makro seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI) maupun international best practices yang dirumuskan lembaga-lembaga keuangan syariah internasional, seperti IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI dan IIFM.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar pada tingkat nasional.
“Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” memuat visi, misi dan sasaran pengembangan perbankan syariah serta sekumpulan inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas untuk menjawab tantangan utama dan mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, yaitu pencapaian pangsa pasar perbankan syariah yang signifikan melalui pendalaman peran perbankan syariah dalam aktivitas keuangan nasional, regional dan internasional, dalam kondisi mulai terbentuknya integrasi dgn sektor keuangan syariah lainnya.
Dalam jangka pendek, perbankan syariah nasional lebih diarahkan pada pelayanan pasar domestik yang potensinya masih sangat besar. Dengan kata lain, perbankan Syariah nasional harus sanggup untuk menjadi pemain domestik akan tetapi memiliki kualitas layanan dan kinerja yang bertaraf internasional.
Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Sebuah sistem perbankan yang menghadirkan bentuk-bentuk aplikatif dari konsep ekonomi syariah yang dirumuskan secara bijaksana, dalam konteks kekinian permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, dan dengan tetap memperhatikan kondisi sosio-kultural di dalam mana bangsa ini menuliskan perjalanan sejarahnya. Hanya dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem perbankan syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan negeri.
Grand Strategy Pengembangan Pasar Perbankan Syariah
Sebagai langkah konkrit upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia, maka Bank Indonesia telah merumuskan sebuah Grand Strategi Pengembangan Pasar Perbankan Syariah, sebagai strategi komprehensif pengembangan pasar yg meliputi aspek-aspek strategis, yaitu: Penetapan visi 2010 sebagai industri perbankan syariah terkemuka di ASEAN, pembentukan citra baru perbankan syariah nasional yang bersifat inklusif dan universal, pemetaan pasar secara lebih akurat, pengembangan produk yang lebih beragam, peningkatan layanan, serta strategi komunikasi baru yang memposisikan perbankan syariah lebih dari sekedar bank.
Selanjutnya berbagai program konkrit telah dan akan dilakukan sebagai tahap implementasi dari grand strategy pengembangan pasar keuangan perbankan syariah, antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, menerapkan visi baru pengembangan perbankan syariah pada fase I tahun 2008 membangun pemahaman perbankan syariah sebagai Beyond Banking, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.50 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 40%, fase II tahun 2009 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah paling atraktif di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.87 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 75%. Fase III tahun 2010 menjadikan perbankan syariah Indonesia sebagai perbankan syariah terkemuka di ASEAN, dengan pencapaian target asset sebesar Rp.124 triliun dan pertumbuhan industri sebesar 81%.
Kedua, program pencitraan baru perbankan syariah yang meliputi aspek positioning, differentiation, dan branding.
Ketiga, program pemetaan baru secara lebih akurat terhadap potensi pasar perbankan syariah yang secara umum mengarahkan pelayanan jasa bank syariah sebagai layanan universal atau bank bagi semua lapisan masyarakat dan semua segmen sesuai dengan strategi masing-masing bank syariah.
Keempat, program pengembangan produk yang diarahkan kepada variasi produk yang beragam yang didukung oleh keunikan value yang ditawarkan (saling menguntungkan) dan dukungan jaringan kantor yang luas dan penggunaan standar nama produk yang mudah dipahami.
Kelima, program peningkatan kualitas layanan yang didukung oleh SDM yang kompeten dan penyediaan teknologi informasi yang mampu memenuhi kebutuhan dan kepuasan nasabah serta mampu mengkomunikasikan produk dan jasa bank syariah kepada nasabah secara benar dan jelas, dengan tetap memenuhi prinsip syariah; dan
Keenam, program sosialisasi dan edukasi masyarakat secara lebih luas dan efisien melalui berbagai sarana komunikasi langsung, maupun tidak langsung yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kemanfaatan produk serta jasa perbankan syariah yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Camels
CAMELS
Kebijakan perbankan yang dikeluarkan oleh BI adalah ditujukan untuk menciptakan dan memelihara kesehatan, baik secara individu maupun perbankan sebagai suatu sistem. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah seperti apakah bank yang disebut sehat itu?
Apa saja yang menjadi indikator kesehatan sebuah bank dan bagaimana pengukurannya?
Pengertian Tingkat Kesehatan Bank
Bank yang sehat adalah bank yang dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik. Dengan kata lain, bank yang sehat adalah bank yang dapat menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakannya, terutama kebijakan moneter. Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat serta bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, bank harus mempunyai modal yang cukup, menjaga kualitas asetnya dengan baik, dikelola dengan baik dan dioperasikan berdasarkan prinsip kehati-hatian, menghasilkan keuntungan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, serta memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi kewajibannya setiap saat. Selain itu, suatu bank harus senantiasa memenuhi berbagai ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan, yang pada dasarnya berupa berbagai ketentuan yang mengacu pada prinsip-prinsip kehati-hatian di bidang perbankan.
Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Penilaian tingkat kesehatan bank di Indonesia sampai saat ini secara garis besar didasarkan pada faktor CAMEL (Capital, Assets Quality, Management, Earning dan Liquidity). Seiring dengan penerapan risk based supervision, penilaian tingkat kesehatan juga memerlukan penyempurnaan. Saat ini BI tengah mempersiapkan penyempurnaan sistem penilaian bank yang baru, yang memperhitungkan sensitivity to market risk atau risiko pasar. Dengan demikian faktor-faktor yang diperhitungkan dalam system baru ini nantinya adalah CAMEL. Kelima faktor tersebut memang merupakan faktor yang menentukan kondisi suatu bank. Apabila suatu bank mengalami permasalahan pada salah satu faktor tersebut (apalagi apabila suatu bank mengalami permasalahan yang menyangkut lebih dari satu faktor tersebut), maka bank tersebut akan mengalami kesulitan.
Sebagai contoh, suatu bank yang mengalami masalah likuiditas (meskipun bank tersebut modalnya cukup, selalu untung, dikelola dengan baik, kualitas aktiva produktifnya baik) maka apabila permasalahan tersebut tidak segera dapat diatasi maka dapat dipastikan bank tersebut akan menjadi tidak sehat. Pada waktu terjadi krisis perbankan di Indonesia sebetulnya tidak semua bank dalam kondisi tidak sehat, tetapi karena terjadi rush dan mengalami kesulitan likuiditas, maka sejumlah bank yang sebenarnya sehat menjadi tidak sehat.
Meskipun secara umum faktor CAMEL relevan dipergunakan untuk semua bank, tetapi bobot masing-masing faktor akan berbeda untuk masing-masing jenis bank. Dengan dasar ini, maka penggunaan factor CAMEL dalam penilaian tingkat kesehatan dibedakan antara bank umum dan BPR. Bobot masing-masing faktor CAMEL untuk bank umum dan BPR ditetapkan sebagai berikut :
Tabel Bobot CAMEL
No.
|
Faktor
CAMEL
|
Bobot
|
|
Bank
Umum
|
BPR
|
||
1.
2.
3.
4.
5.
|
Permodalan
Kualitas
Aktiva Produktif
Kualitas
Manajemen
Rentabilitas
Likuiditas
|
25%
30%
25%
10%
10%
|
30%
30%
20%
10%
10%
|
Perbedaan penilaian tingkat kesehatan antara bank umum dan BPR hanya pada bobot masing-masing faktor CAMEL. Pelaksanaan penilaian selanjutnya dilakukan sama tanpa ada pembedaan antara bank umum dan BPR. Dalam uraian berikut, yang dimaksud dengan penilaian bank adalah penilaian bank umum dan BPR.
Dalam melakukan penilaian atas tingkat kesehatan bank pada dasarnya dilakukan dengan pendekatan kualitatif atas berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kondisi dan perkembangan suatu bank. Pendekatan tersebut dilakukan dengan menilai faktor-faktor permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas dan likuiditas.
Pada tahap awal penilaian tingkat kesehatan suatu bank dilakukan dengan melakukan kuantifikasi atas komponen dari masing-masing factor tersebut. Faktor dan komponen tersebut selanjutnya diberi suatu bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap kesehatan suatu bank.
Selanjutnya, penilaian faktor dan komponen dilakukan dengan system kredit yang dinyatakan dalam nilai kredit antara 0 sampai 100. Hasil penilaian atas dasar bobot dan nilai kredit selanjutnya dikurangi dengan nilai kredit atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang lain yang sanksinya dikaitkan dengan tingkat kesehatan bank.
Berdasarkan kuantifikasi atas komponen-komponen sebagaimana diuraikan di atas, selanjutnya masih dievaluasi lagi dengan memperhatikan informasi dan aspek-aspek lain yang secara materiil dapat berpengaruh terhadap perkembangan masing-masing faktor. Pada akhirnya, akan diperoleh suatu angka yang dapat menentukan predikat tingkat kesehatan bank, yaitu Sehat, Cukup Sehat, Kurang Sehat dan Tidak Sehat.
Berikut ini penjelasan metode CAMEL :
1. Capital
Kekurangan modal merupakan gejala umum yang dialami bank-bank di negara-negara berkembang. Kekurangan modal tersebut dapat bersumber dari dua hal, yang pertama adalah karena modal yang jumlahnya kecil, yang kedua adalah kualitas modalnya yang buruk. Dengan demikian, pengawas bank harus yakin bahwa bank harus mempunyai modal yang cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Selain itu, para pemegang saham maupun pengurus bank harus benar-benar bertanggung jawab atas modal yang sudah ditanamkan.
Berapa modal yang cukup tersebut? Pada saat ini persyaratan untuk mendirikan bank baru memerlukan modal disetor sebesar Rp. 3 trilyun. Namun bank-bank yang saat ketentuan tersebut diberlakukan sudah berdiri jumlah modalnya mungkin kurang dari jumlah tersebut. Pengertian kecukupan modal tersebut tidak hanya dihitung dari jumlah nominalnya, tetapi juga dari rasio kecukupan modal, atau yang sering disebut sebagai Capital Adequacy Ratio (CAR). Rasio tersebut merupakan perbandingan antara jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Pada saat ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, CAR suatu bank sekurang-kurangnya sebesar 8%.
2. Assets Quality
Dalam kondisi normal sebagian besar aktiva suatu bank terdiri dari kredit dan aktiva lain yang dapat menghasilkan atau menjadi sumber pendapatan bagi bank, sehingga jenis aktiva tersebut sering disebut sebagai aktiva produktif. Dengan kata lain, aktiva produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, surat berharga, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. Di dalam menganalisis suatu bank pada umumnya perhatian difokuskan pada kecukupan modal bank karena masalah solvensi memang penting. Namun demikian, menganalisis kualitas aktiva produktif secara cermat tidaklah kalah pentingnya. Kualitas aktiva produktif bank yang sangat jelek secara implisit akan menghapus modal bank. Walaupun secara riil bank memiliki modal yang cukup besar, apabila kualitas aktiva produktifnya sangat buruk dapat saja kondisi modalnya menjadi buruk pula. Hal ini antara lain terkait dengan berbagai permasalahan seperti pembentukan cadangan, penilaian asset, pemberian pinjaman kepada pihak terkait, dan sebagainya. Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif di dalam ketentuan perbankan di Indonesia didasarkan pada dua rasio yaitu:
1) Rasio Aktiva Produktif Diklasifikasikan terhadap Aktiva
Produktif (KAP 1). Aktiva Produktif Diklasifikasikan menjadi Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
Penilaian rasio KAP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
Untuk rasio sebesar 15,5 % atau lebih diberi nilai kredit 0 dan
Untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari 15,49% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
2) Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terhadap Aktiva
Produktif yang diklasifikasikan (KAP 2).Penilaian rasio KAP untuk perhitungan PPAP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut untuk rasio 0 % diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 1 % dari 0 % nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
3. Management
Manajemen atau pengelolaan suatu bank akan menentukan sehat tidaknya suatu bank. Mengingat hal tersebut, maka pengelolaan suatu manajemen sebuah bank mendapatkan perhatian yang besar dalam penilaian tingkat kesehatan suatu bank diharapkan dapat menciptakan dan memelihara kesehatannya.
Penilaian faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan bank umum dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan terhadap bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut dilakukan dengan mempergunakan sekitar seratus kuesioner yang dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok manajemen umum dan kuesioner manajemen risiko. Kuesioner kelompok manajemen umum selanjutnya dibagi ke dalam sub kelompok pertanyaan yang berkaitan dengan strategi, struktur, sistem, sumber daya manusia, kepemimpinan, budaya kerja. Sementara itu, untuk kuesioner manajemen risiko dibagi dalam sub kelompok yang berkaitan dengan risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit, risiko operasional, risiko hukum dan risiko pemilik dan pengurus.
4. Earning
Salah satu parameter untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Perlu diketahui bahwa apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan operasinya maka tentu saja lama kelamaan kerugian tersebut akan memakan modalnya. Bank yang dalam kondisi demikian tentu saja tidak dapat dikatakan sehat.
Penilaian didasarkan kepada rentabilitas atau earning suatu bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam menciptakan laba. Penilaian dalam unsur ini didasarkan pada dua macam, yaitu :
1) Rasio Laba terhadap Total Assets (ROA / Earning 1).
Penilaian rasio earning 1 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio 0 % atau negatif diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap kenaikan 0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah dengan nilai maksimum 100.
2) Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (Earning 2).
Penilaian earning 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan setiap penurunan sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
5. Liquidity
Penilaian terhadap faktor likuiditas dilakukan dengan menilai dua buah rasio, yaitu rasio Kewajiban Bersih Antar Bank terhadap Modal Inti dan rasio Kredit terhadap Dana yang Diterima oleh Bank. Yang dimaksud Kewajiban Bersih Antar Bank adalah selisih antara kewajiban bank dengan tagihan kepada bank lain. Sementara itu yang termasuk Dana yang Diterima adalah Kredit Likuiditas Bank Indonesia, Giro, Deposito, dan Tabungan Masyarakat, Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan (tidak termasuk pinjaman subordinasi), Deposito dan Pinjaman dari bank lain yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan, dan surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.
Liquidity yaitu rasio untuk menilai likuiditas bank. Penilaian likuiditas bank didasarkan atas dua maca rasio, yaitu :
1) Rasio jumlah kewajiban bersih call money terhadap Aktiva Lancar.
Penilaian likuiditas dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap penurunan sebesar 1% mulai dari nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
2) Rasio antara Kredit terhadap dana yang diterima oleh bank.
Penilaian likuiditas 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio 115 atau lebih diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 1% mulai dari rasio 115% nilai kredit ditambah 4 dengan nilai maksimum 100.
Sistem Informasi Akuntansi Perbankan
Sistem Informasi Akuntansi Perbankan
Sistem Informasi Akuntansi. Sistem informasi pada dasarnya adalah
sekelompok unsur, yang, saling terkait satu dengan yang lainnya, sehingga dapat
memproses data transaksi yang di butuhkan yang berfungsi bersama untuk mencapai
suatu tujuan. Demikian pula dengan SIA, merupakan gabungan dari tiga unsur kata
yaitu sistem, informasi dan akuntansi, masing-masing kata yang tergabung dalam
pengertian system, informasi, akuntansi tersebut memiliki maknanya sendiri,
sebagaimana yang akan duniabaca.com uraikan sebagai berikut ini :
a. Sistem
Menurut Baridwan sistem adalah suatu kerangka
dari prosedur-prosedur yang saling berhubungan yang disusun sesuai dengan suatu
skema yang menyeluruh untuk melaksanakan suatu kegiatan atau fungsi utama dari
perusahaan. Sedangkan menurut Mulyadi sistem merupakan suatu organisasi
formulir, catatan dan laporan yang dikoordinasikan sedemikian rupa untuk
menyediakan informasi keuangan yang dibutuhkan manajemen guna memudahkan
pengelolaan perusahaan. Sedangkan menurut Widjajanto sistem adalah sesuatu yang
memiliki bagian-bagian yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu
melalui tiga tahap yaitu input, proses dan output. Sedangkan menurut Hall
sistem adalah kelompok dari dua atau lebih komponen atau subsistem yang saling
berhubungan yang berfungsi dengan tujuan yang sama.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas, maka
dapat diikhtisarkan bahwa pada dasarnya sistem terdiri dari tiga unsur, yaitu :
masukan ( input), proses (procces) merupakan suatu aktivitas yang dapat
mentransformasikan input menjadi output. Sedangkan output berarti yang menjadi
tujuan, sasaran, atau target pengorganisasian suatu sistem.
b. Informasi
Informasi merupakan komoditas yang sangat
penting bagi perusahaan, karena dengan adanya informasi akan membantu dalam
operasi dan pengambilan keputusan sehari-hari. Untuk memberikan gambaran yang
jelas tentang istilah data dan informasi dalam hubungannya dengan proses
penyediaan informasi, berikut ini diberikan pengertian untuk masing-masing
istilah tersebut. Data dapat diartikan sebagai fakta atau jumlah yang merupakan
masukan (input) bagi suatu sistem informasi. Biasanya data ini dapat digunakan
sebagai dasar dalam pengambilan keputusan oleh manajemen. Menurut Bodnar dan
Hopwood informasi adalah data yang berguna yang diolah sehingga dapat dijadikan
dasar untuk pengambilan keputusan yang tepat.
Dengan adanya sistem yang baik diharapkan
dapat menghasilkan suatu informasi yang berkualitas tinggi. Informasi yang baik
tersebut mempunyai kriteria sebagai berikut, relevan, akurat, tepat waktu,
ringkas, jelas, dapat diukur, dan konsisten. Untuk lebih jelasnya masing-masing
kriteria akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Relevan
Informasi yang relevan berkaitan dengan
sejauh mana informasi tersebut dapat membuat perbedaan untuk Alternatif
pengambilan keputusan.
2. Akurat
Keakuratan informasi berkaitan dengan
ketepatan dan keandalan informasi tersebut sehingga informasi yang akurat,
berarti bebas dari kesalahan dan tidak menyesatkan bagi pemakai informasi.
3. Tepat waktu
Ketepatan waktu sebuah informasi sangat
penting, karna informasi tersebut harus tersedia pada saat dibutuhkan karma
berhubungan dengan pengambilan keputusan atau kebijakan.
4. Ringkas
Keringkasan sebuah informasi berarti
informasi tersebut sudah digolongkan dan disajikan dalam format yang tidak
terlalu detail sehingga tidak membingungkan para pemakai informasi.
5. Jelas
Informasi yang jelas menunjukan tingkat
kemampuan informasi tersebut sudah digolongkan dan disajikan dalam format yang
tidak terlau detail.
6. Dapat di ukur
Berhubungan dengan konsep pengukuran
informasi, Informasi yang dapat diukur akan menambah nilai informasi tersebut.
7. Konsisten
Sebuah informasi berhubungan dengan kemampuan
untuk dapat di bandingkan dengan informasi sejenis dari fungsi yang berbeda
atau informasi yang sejenis dengan waktu yang berbeda.
Jadi sesuai dengan pengertian diatas bahwa
informasi merupakan keluaran (output) dari suatu proses pengolahan data.
Informasi ini biasanya telah tersusun dengan baik dan mempunyai arti bagi
penerimanya, sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan
oleh manajemen.
c. Akuntansi
Proses akutansi dimaksudkan untuk
menghasilkan informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Perusahaan harus
mengidentifikasikan pihak-pihak yang berkepentingan, kemudian perusahaan harus
mengetahui kebutuhan informasi mereka dan rancangan sistem akuntansinya guna
pemenuhan kebutuhan informasi tersebut. Akhirnya sistem akutansi mencatat data
ekonomi mengenai kegiatan perusahaan dan hal-hal yang terjadi pada perusahaan,
yang hasilnya dilaporkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan sesuai
kebutuhan informasi mereka.
Akuntansi pada hakikatnya merupakan suatu
proses yang dapat menghasilkan informasi yang digunakan manajer untuk
menjalankan operasi perusahaan. Melalui akuntansi pulalah informasi perusahaan
dapat dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya laporan
akutansi yang mengiktisarkan profitabilitas produk baru sehingga dapat membantu
manajemen untuk memutuskan apakah akan melanjutkan penawaran produk tersebut ke
pasar. Demikian pula, para analisis keuangan menggunakan laporan akuntansi
untuk memutuskan apakah akan merekomendasikan penawaran investasi perusahaan
tersebut. Begitu juga bank menggunakan laporan akuntansi dalam memutuskan
jumlah kredit yang akan dicairkan kepada perusahaan. Bagi pemasok laporan
akuntansi digunakan untuk memutuskan apakah akan memenuhi kebutuhan bahan baku
atau barang jadi kepada perusahaan.
Menurut Soemarso menyatakan akuntansi adalah
proses mengidentifikasi, mengukur, dan melaporkan informasi ekonomi, untuk
memungkinkan adanya penilaian dan keputusan yang jelas dan tegas bagi mereka
yang menggunakan informasi tersebut. Sedangkan menurut Warren dkk menjelaskan
bahwa, secara umum akuntansi adalah sebagai sistem informasi yang menghasilkan
laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai ekonomi dan kondisi
perusahaan. Hal yang sama disampaikan Honggren dkk yang menyatakan bahwa
akuntansi adalah suatu sistem yang mengukur aktivitas-aktivitas bisnis,
memproses informasi tersebut kedalam bentuk laporan, dan mengkomunikasikannya
kepada para pengambil keputusan
Jadi, akuntansi itu merupakan suatu proses
yang dimulai dari transaksi, pencatatan, pengikhtisaran, dan laporan akuntansi.
Dengan demikian informasi yang dihasilkan berguna dalam penilaian dan pengambilan
keputusan mengenai perusahaan yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian sistem, informasi, dan
akuntansi diatas maka dapat diketahui lebih jelas tentang SIA. Bodnar dan
Hopwood mengemukakan bahwa sistem informasi akuntansi adalah kumpulan sumber daya,
seperti manusia dan peralatan yang diatur untuk mengubah data menjadi
informasi, informasi ini dikomunikasikan kepada bagian beragam pengambil
keputusan. Sedangkan Baridwan menyatakan bahwa sistem informasi akuntansi
adalah suatu koponen yang mengumpulkan, menggolongkan, mengolah, menganalisa
dan mengkombinasikan informasi keuangan yang relevan untuk pengambilan
keputusan pihak-pihak luar (seperti inspektorat pajak, investor, dan kreditor)
pihak-pihak dalam (terutama manajemen).
Dari beberapa definisi yang diberikan diatas
dapat di jelaskan bahwa Sistem Informasi Akuntasi mengolah data. Data yang
diolah sistem informasi akuntansi adalah data yang bersifat keuangan. Sistem
informasi akuntansi hanya terbatas pada pengolahan data yang bersifat keungan
saja, sehingga informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi akuntansi
perusahaan hanya informasi keuangan saja.
Langganan:
Postingan (Atom)