Jumat, 20 Mei 2011

Demokrasi Masih Semu?

Perubahan sistem pemilu tentu menjadi titik penting dalam upaya penguatan demokrasi di Indonesia karena kendati pemilu hanya instrumen, instrumen itulah, diakui atau tidak, yang menjadi esensi dari demokrasi. Lewat pemilu, terbangun ikatan politik antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintahan terpilih sebagai penyelenggara kekuasaan. Ikatan itu tentu saja menimbulkan hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik itu dalam bentuk yang sederhana adalah: pemilih memberi legitimasi terhadap yang dipilih karena itu pemilih memiliki hak untuk melakukan kontrol dan pengawasan (tanggung gugat) terhadap yang dipilih. Atau, dari kacamata lain, pemerintahan yang dipilih memiliki kewajiban untuk melakukan pertanggungjawaban kepada rakyat yang telah memberinya legitimasi kekuasaan. 

Demokrasi masih semu? 
Namun, apakah saat ini kondisinya sudah berbanding lurus dengan harapan yang telanjur membumbung tinggi itu? Jangankan berbanding lurus, mendekati pun publik pasti tidak melihatnya. Sebab dalam perkembangannya, harapan itu seolah mengalami stagnasi, bahkan layu tatkala penguatan demokrasi itu ternyata hanya menyentuh pada aspek prosedural, dan bukan substansial. Betapa tidak, karena dalam praktiknya meminjam istilah Buya Syafii penyelenggara negara dari waktu ke waktu semakin kuat menunjukkan gejala mati rasa. 
Kita semua bisa melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya dalam soal pembelian mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II atau juga pembangunan pagar istana presiden yang menelan biaya puluhan miliar rupiah. Kebijakan itu jelas mencederai rasa keadilan publik karena di saat yang sama kemiskinan masih mengharu biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2010 berdasar BPS sebanyak 31,02 juta orang--relatif tak banyak berubah jika dibandingkan dengan data per Februari 2005, yakni sebesar 35,10 juta orang). 
Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus Lapindo, terjadinya 'kriminalisasi' terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus Bank Century yang belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa tebang pilih terhadap penanganan kasus korupsi. Kesemuanya itu adalah contoh-contoh lain yang harus diakui kian mengiris rasa keadilan. Kendati dibalut pernyataan-pernyataan yang apik dan santun, toh penyikapan dari penyelenggara negara terhadap kasus-kasus tersebut tetap saja dinilai jauh dari komitmen untuk mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat. 

Ironisnya lagi, perilaku yang tak populer di mata publik itu melibatkan elite-elite politik dari lintas partai. Mereka bukannya mengingatkan munculnya gejala mati rasa dari penyelenggara negara, melainkan sepertinya justru sengaja berkerumun di lingkar kekuasaan untuk kebagian 'kue' kekuasaan. Akibatnya, yang terekam ke publik adalah: parpol yang merupakan pilar demokrasi tak ubahnya kumpulan elite yang hanya berburu kekuasaan. Performa semacam itu diperparah lagi dengan kultur politik internal partai yang sebagian besar masih feodalistik. Situasi itu kemudian diperparah dengan perkembangan yang terjadi kemudian sebagaimana yang kita tangkap akhir-akhir ini yakni munculnya 'politik barter', yakni keuntungan pribadi atau kelompok menjadi pertimbangan utama. Adanya politik barter jelas mencemaskan karena tidak saja berpotensi menggerus kualitas kebijakan, baik berupa aturan perundang-undangan atau keputusan dalam menentukan pilihan, tapi juga membuat pembahasan terhadap peraturan menjadi bertele-tele sekadar untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan kelompok semata. Lebih daripada itu, 'politik barter' memicu terbentuknya politik oligarki, sekaligus memunculkan demokrasi semu di Indonesia. 

Harapan politik 2011 
Dari kesemua fenomena yang terjadi itu, masihkah ada harapan bahwa 2011 nanti perpolitikan, konsolidasi demokrasi, akan menemui titik terang? Rasanya jika mengacu pada bagaimana penyelenggara negara menyikapinya, harapan itu masih menjadi impian. Jika tidak ada terobosan dan komitmen kuat dari penyelenggara negara dan juga elite-elite parpol ke arah mana keberpihakannya, yang akan muncul dalam beberapa waktu ke depan justru kian menipisnya kepercayaan publik di satu sisi dan menguatnya kekecewaan di sisi lain. Sebenarnya tidak seharusnya publik menyambut tahun 2011 dengan pesimisme yang akut karena filosofi bernegara adalah untuk melihat terwujudnya harapan dan kepentingan kolektif. Namun, dengan gejala-gejala politik akhir-akhir ini sepertinya memang menjadi warning bagi publik untuk siap menerima kekecewaan lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar